Hampir 10 tahun ini setiap hari, pagi dan sore saya melewati monumen ini. Benar, monumen ini berada di Utara kota Sidoarjo, tepatnya di kecamatan Gedangan Sidoarjo. Berada di sisi kiri jalan raya dari arah Surabaya Selatan menuju ke Malang. Bagi pengendara yang memiliki tujuan ke Malang, dengan jalur sibuk tengah kota Sidoarjo pasti melewati monumen ini. Orang Sidoarjo menyebut bangunan ini Tugu Gedangan. Setiap pagi dan sore saya melewati tugu ini sebab posisinya tepat di jalur penyebrangan arah ke Sukodono melalui jalan Muncul. Jalur ini sangat disukai pengendara roda dua karena aksesnya yang mudah dan dapat menghindari macet dar peremparan Gedangan Sidoarjo dua arah.
Monumen perjuangan rakyat Sidoarjo yang berada di Jl.Gedangan, Sidoarjo diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1974 oleh Pangdam VIII/Brawijaya Mayjen TNI. Widjojo Soejono. Monumen ini dibangun sebagai wujud penghormatan kepada pahlawan-pahlawan bangsa yang telah berjuang melawan Belanda dikala Revolusi fisik tahun 1945. Tepat di monumen ini berada, dahulu banyak terdapat korban berjatuhan dari pihak Indonesia dan Sekutu Belanda akibat pertempuran yang berlangsung terus menerus demi mempertahankan kemerdekaan. Pada Monumen berdiri tegak patung yang menggambarkan seorang pejuang muda gagah perkasa dengan menggenggam senjata yang siap sedia melawan penjajah Belanda. Tepat dibawah patung tersebut terdapat sebuah kutipan dari Panglima Besar Jenderal Soedirman yaitu “Jangan bimbang mengalami macam-macam penderitaan karena makin dekat cita-cita kita makin berat penderitaan yang kita alami”.
Melihat kegagahan monumen perjuangan ini, seharusnya layak dinilai sebagai bangunan bersejarah yang patut dirawat dan dilestarikan. Berdiri diatas tanah berbentuk segi tiga tak sama sisi sekitar lima meter dari jalur kereta api Sidoarjo, berjarak 200 meter dari stasiun Gedangan, dengan taman dan pagar sekeliling, harusnya bangunan ini menjadi salah satu obyek wisata sejarah bagi pengunjungnya. Sayangnya, posisi monumen yang berada tepat disisi kiri jalan raya yang padat dan macet menyulitkan akses pengunjung dengan kendaraan untuk berkunjung. Meski tak ada rambu lalu lintas yang melarang kendaraan parkir di area ini, namun kondisi jalan raya yang macet baik pagi, siang maupun petang menyulitkan pengunjung untuk berhenti, parkir dan menikmati bangunan monumen perjuangan. Ditambah lagi dengan beberapa pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar monumen.
Dari segi estetika kota, wilayah ini merupakan pintu gerbang menuju kawasan kota Sidoarjo yang rapi dan bersih.Kabid kebersihan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Pemkab Sidoarjo Widiyantoro SH menegaskan, sebagaimana dilansir di situs resmi Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mengatakan bahwa, pihaknya sudah beberapa kali melakukan rapat lintas sektoral diantarnya dengan Satpol PP selaku penegak ketertiban.“Kita inginnya kawasan ini bersih dan rapi. Meskipun lahanya milik PT KAI. namun jika dibangun dengan rapi kan enak dipandang mata,” Namun sayang sekali, dominasi bangunan liar dan pedagang kaki lima di daerah ini membuat keindahan bangunan tak lagi dapat dinikmati.
Dalam beberapa foto yang diunggah di dunia maya, dapat dilihat, bahwa sekeliling bangunan selain penuh dengan bangunan liar dan pedagang kaki lima juga fisik bangunan itu sendiri penuh dengan coretan tangan. Belum lagi kondisi jalan yang sering banjir jika hujan, menimbulkan genangan air permanen sepanjang tahun didalam taman tempat monumen berdiri dengan sampah dan rumput yang tak terawat disekelilingnya. Berbeda dengan Tugu Perjuangan yang ada di Pancoran Jakarta yang juga berada di sisi jalan raya, tugu perjuangan ini nyaris tidak lagi dikenali sebagai bangunan bersejarah yang menjadi tanda banyaknya korban pada perjuangan 10 November 1945 kalaitu. Menurut rekan kerja saya yang lahir dan dibesarkan di daerah Gedangan dekat bangunan ini, menyebutkan bahwa tugu ini lebih dikenal sebagai tanda pemberhentian kendaraan umum dibanding dengan menyebutkan kata "Marinir" yang markasnya memang berada berseberangan dengan tugu. Sedang rekan kerja lain yang tinggal tak jauh dari bangunan itu, tidak merekomendasikan bangunan tersebut sebagai bangunan bersejarah sebab fisiknya yang tak terawat dan juga lebih terkenal dengan penjual sate Nyambik di depan bangunan dibanding dengan bangunan itu sendiri.
Dalam kacamata saya sebagai penikmat sejarah, sejelek apapun bangunan bersejarah tetaplah perlu dihargai, dirawatdan dilestarikan. Hal ini tentu saja terkait dengan besarnya biaya pembangunan monumen yang menggunakan uang rakyat, juga sebagai bagian dari bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Bangunan ini berdiri sebagai bukti kekuatan perjuangan gerilya masa itu. Meski kemudian berdirinya bangunan lebih dikenal dengan penjual sate Nyambik atau sebutan pemberhentian bagi penumpang kendaraan umum. Lagi, dan tak kalah menarik adalah, bagunan ini menjadi penanda pengendara agar lebih berhati hati. Selain bahwa didepan tugu merupakan penyeberangan arah ke Jl. Muncul, juga, area ini sering kali terjadi kecelakaan, baik arah Surabaya maupun sebaliknya. Mitos masyarakat mengatakan bahwa berdirinya tugu menjadi penanda waspada dan hati hati bagi pengendara. "Jangan melamun melewati area Marinir sampai tugu kalau ndak mau celaka" ujar beberapa orang yang tak berkenan disebut namanya. Tentu saja harus waspada, sepanjang jalan persimpangan keluar dari bandara Juanda menuju jalan raya Gedangan adalah area persawahan atau area latihan Marinir dekat dengan jalan raya yang minus bangunan hampir satu setengah kilometer jauhnya. Jika tidak waspada, angin bisa membuat kantuk pengendara. Waspadalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar